Selasa, 25 Juli 2017

Kenapa Harus Ideal

Pemikiran ku saat ini,  mengajak menyelami bayangan pikiran ku sendiri,  tentang perjumpaannya dengan alam realitas.  Di sela penyelaman,  ia berujar,  "aku dan realitas,  selalu bersebrangan".  Gumamku,  ada dua sosok subjek yang saling bertemu,  bercengkrama,  dan mengenal.  Dari pergumulan itu,  satu sama lain saling mengharapkan,  saling beradu eksistensi,  saling menyalahkan,  saling mengumbar perbedaan.

Aku memahami,  itu adalah hukum alam,  narasi absolut yang tidak seimbang harus dipertarungkan,  diperhadapkan,  divis a vis kan.  realitas satu sisi,  merupakan subjek komplek dengan struktur rumit berdimensi eksternal penuh dengan lengkungan warna bergradasi.  Di sisi lain,  pemikiran adalah subjek tunggal berstruktur sederhana,  berdimensi internal,  sewarna, menuju independensi idealismenya internalnya,  pribadinya.

Paling tidak,  bayanganku mulai berpendar,  dari dugaanku hubungan pemikiran dengan realitas adalah positif-negatif menjadi netral.  Semula prasangkaku "tesis lebih rendah dari antitesis" atau sebaliknya,  menjadi semua sejajar,  berpresisi sama,  tidak dalam mekanisme hierarki vertikal struktural melainkan horisontal struktural.

Dari situ,  pemikiranku pun berubah,  belajar dari bayangannya sendiri,  idealisme pribadinya tidaklah cukup menopang perjalanannya,  tanpa menetralkan diktum tesis dan antitesis dirinya dan realitas agar lahir sintesis yang seimbang dan ideal,  tak ada lagi klaim,  semuanya menyatu dalam ruang idealisme yang dibangun bersama.

Senin, 24 Juli 2017

Di mana dirimu?

Bukan persoalan mencari,  menunggu,  atau apapun itu,  hanya soal waktu,  bukan?.  Ditemani lagu cinta,  aku duduk di pojok atas tangga,  menghadap ke arah hunian yang sepi,  mengayomi jiwa berteduh di dekap malam.

Langitpun hitam tanpa awan,  tanpa bintang,  bulan pun tak muncul kali ini.  Serasa sedih memang,  kala langit menangis tumpahkan air mata walau sekejap. 

Bunyi-bunyian pun entah menghilang kemana detik ini. Mungkin,  begitu halus rasanya resapi sedih langit yang dingin ini.  Bekasnya pun masih terlihat menimpa tanah yang makin hitam,  tegaskan kesedihan malam ini.  Begitupun angin bergerak berseliweran,  sibuk sendiri,  tak tentu arah,  sebarkan berita kesedihan ini.  Semakin larut semakin jelas bayangannya,  meski tak ada matahari.

Lalu,  aku sendiri terhanyut,  merasa terseret ke pusaran ini.  Menyatu,  tak lagi tahu mana diriku,  di mana dirimu.  Mungkin kekalutan akud terpendam selama ini,  perjalan ini,  tujuan yang berkoma ini,  sambil menunggu waktu menjadwalkan dengan titik.

Semoga lekas pudar.  Semoga lekas mencair.  Semoga lekas lembut.  Semoga lekas membaik.

Minggu, 23 Juli 2017

Salahkah Medsos?

SALAH KAH MEDSOS ???

Belakangan ini, mengemuka wacana tentang perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Pemantiknya ada di "jantung" ibukota lewat "hajatan" pesta demokrasi rakyatnya.

"Hajatan" yang seharusnya dinikmati, dipestakan, dimeriahkan, disuka-citakan, menyambut pioneer "pelayan" rakyat, malah berujung konstelasi polarisasi pengusung panji takfiri dan pengusung semboyan tamkiri.

"Hajatan" tak lagi nikmat, sumringah, suka-cita, gegap gempita, menjadi aksi "bakar lilin" menebus yang di dalam jeruji besi, hingga penantian kembalinya Imam Besar ke Tanah Air, katanya demi hukum, "hajatan" berujung penegakkan hukum.

Demikian, adalah paparan hasil sirkumtansi  derap-langkah dunia nyata nyata maupun maya via medsos.

Nampaknya, kehidupan sekarang ini, ranah publik terdominasi melalui konsumsi dunia maya via medsos. Tak ayal, kemudian, para pengamat mensinyalir segala hiruk pikuk di atas merupakan output konsumsi publik melalui medsos.

Tapi, apakah adil, kalau selanjutnya  medsos dijadikan biang keroknya? Ataukah demikian merupakan simplikasi dari permasalahan yang sudah mengakar kuat dalam "denyut nadi" bangunan kebudayaan dan peradaban kita??

Ironi kata "Guru"

Sri Pakubuwana IV secara futuristik mengatakan: "Ingkang limrah ing jaman samangke sami kuwalik tingalipun, limrah guru naruthuk ngupados murid, mangka ingkang sampun limrah ing jaman kina, murid ingkang sami ngupados guru". Bagi saya, "ramalan" tersebut bernada sarkastik kalau dipahami dalam konteks sekarang.

Kata guru dalam berbagai aspek kemaknaannya lekat dengan konsep yang amat dalam-tempat muara pengatahuan-para murid.

Dengan demikian, guru secara ontologis adalah sosok yang bebas dan independen, kalau tidak "aliran" pengetahuan akan tersendat dalam endapan yang berbahaya.

Memang, kemudian "guru" mau tidak mau harus berpindah dari "pertapaan" das sollen menuju "gelanggang" das sein untuk menverifikasin keabsahaan "ramalan" yang muncul berabad silam.

Kemudian mencoba menjawab, apakah wibawa guru semakin berkurang dari waktu ke waktu, generasi ke generasi, paradigma ke paradigma, dari zaman padepokan ke zaman sekolahan? Kalau memang iya? Haruslah kita membuka lembaran romantisme jaman dahulu? Kalau tidak, terserahlah....

Eksistensialisme?

Eksistensialisme dengan berbagai "begawannya" membalik paradigma rasionalisme cartesian dalam diktum cogito ergo sum--saya berpikir, maka saya ada--menjadi--saya ada, maka saya berpikir. Karena, "aliran" ini menganggap prasyarat adanya adalah eksistensi kemudian esensi.

Dengan demikian, manusia haruslah kembali pada dirinya dalam menghadapi "kehidupan". Dirinya yang penuh kebebasan untuk memilih dan menentukan, sembari dirinya "bersimpuh" kepada Maha Transenden.

Bisa jadi, perenungan eksistensialisme ini berusaha mengangkat manusia dari ketidaksadaran dan "ketidakbebasan" dirinya--dirinya yang terlupakan dan terjajah--ideologi dunia. — di Jl. Kertamukti No.5 Kampus UIN Pascasarjana Ciputat.

Jakarta Larut Dalam Malam

Ditemani suasana hati yang gundah,  aku meluncur menyusuri jalan menuju tempat yang terbesit dalam angan.  Hiruk pikuk jalan masih ramai marnai aspal yang terdiam.  Tentunya, diselingi bunyi khas penghuni jalan sehari-harinya,  makhluk artifisial keluara negara-negara pengatur alur cerita dunia dewasa ini.

Butuh beberapa waktu sampai tujuan di mana pikiran tertambat di sana,  suatu tempat yang pernah disinggahi pada waktu lalu.  Memang,  tidak seperti biasanya,  di mana ada manusia ibukota berkumpul pada suatu acara yang dianggap oase pikiran menenggak segarnya petuah-petuah yang seorang tokoh yang dianggap langka,  unik,  kharismatik,  dan beraparadigma melawan arus.

Tempat itu,  malam ini,  memang nampak lain,  hanya disesaki pengunjung bermuamalah dengan pedagang.  Tidak ada orasi,  tidak ada sorak sorai,  tidak tawa sinis terhadap realita,  tak ada deru shalawat kepada Nabi.  Begitulah suasana malam ini di sini,  tempat ini. 

Namun,  nampaknya,  pikiranku tak persoalkan itu,  ia masih menangkap suasana seperti biasanya,  meski bermodus kenangan.  Penglihatan memori pada tempat yang meliputi suasana itu sendiri. Meski ada ruang yang penglihatan yang gelap,  tak jadi soal.

Aku di sana duduk,  bersandar dinding,  sambil menikmati pohon yang sesekali kupandang.  Walaupun masih belum teruai hatiku yang sempit,  hari ini. Begitulah jakarta malam ini,  di samping jalan,  di temani temaram lampu,  produk perkembangan zaman,  katanya.