Selasa, 30 Agustus 2016

Full Day School: Sebuah Keharusan?

Full Day School: Sebuah Keharusankah?
Resuffle Kabinet jilid II, duet pemerintahan Jokowi-JK telah berlangsung beberapa minggu yang lalu. Salah satu pembantu Presiden alias menteri yang di”geser” adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dijabat oleh Anies Baswedan. Sebelum diganti sebagai menteri oleh Presiden Jokowi, Bapak Menteri Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan keharusan orang tua siswa mengantarkan anaknya ke sekolah pada hari pertama masuk sekolah. Kebijakan tersebut tak pelak, mendapatkan respon beragam dari masyarakat luas, ada yang pro dan tentunya ada yang mengkritisinya. Naasnya, belum tuntas menjawab polemik yang beredar di masyarakat, Menteri Anies Baswedan sudah dicopot dan diganti oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP.
Belum reda polemik kebijakan “keharusan orang tua mengantar anak ke sekolah”, publik Indonesia didera kebijakaan yang dikeluarkan, lagi-lagi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Namun kali ini, tokoh utamanya adalah “sang pengganti” Anies Baswedan, tak lain adalah Muhadjir Efendy. Kebijakan  yang dikeluarkan oleh sang Menteri adalah pemberlakuan sistem “Full Day School” di tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP). Secara umum,  sistem “Full Day School” bisa dipahami sebagai penerapan jam sekolah sehari penuh.
Dalam reportase Kompas (8/8/2016), Muhadjir Effendi mengatakan: “Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja”. Dengan demikian, secara implisit, pernyataan Muhadjir Effendi bisa dipahami bahwa tempat dan lingkungan yang mendukung untuk pengembangan mentalitas dan karakter anak-anak adalah rumah yang disupport oleh sekolah.
Muhadjir Effendy menambahkan, dengan system full day school  ini, anak-anak bisa nyaman mengerjakan tugas-tugas di sekolah disertai dengan adanya pengawasan dari guru sampai dijemput oleh orang tua mereka.
Belum lama mengemuka, banyak kekhawatiran dari masyarakat, khususnya para orangtua siswa, terkait kebijakan pemberlakuan sistem full day school,  mereka khawatir sistem tersebut bisa mengahambat sosialisasi anak dengan lingkungan, teman yang tidak satu sekolah, hingga ketakutan timbul kebosanan di dalam diri anak dalam hal belajar.
Sebagaimana terdapat dalam laman http://regionaldailly.blogspot.co.id, pemerhati anak Indonesia Seto Mulyadi mengutarakan pendapatnya: “yang penting adalah bahwa proses belajar itu harus ramah anak dan demi kepentingan terbaik bagi anak jadi belajar juga bukan hanya formal bisa juga nonformal di tengah masyarakat melalui sanggar-sanggar bisa juga di dalam keluarga dan tidak semua juga ibu itu bekerja”.
Dari pendapat Seto Mulyadi tersebut di atas, mengindakasikan bahwa sistem full day school bukanlah suatu hal yang mendesak untuk diaplikasikan dalam dunia pendidikan dasar sekarang ini. Hal ini, dikarenakan full day school hanya bagian kecil dari “teknik” atau kulit luar saja dari system pendidikan dasar. Yang harus diprioritaskan adalah subtansi sistem pendidikan yang mengarah kepada kenyamanan anak dalam menjalani proses belajar, dan bukan sebaliknya.
Menurut pendapat saya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Muhadjir Effendy tersebut, secara luas bisa dimaknai sebagai respon terhadap berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, khususnya menyangkut persoalan anak. Contohnya: pencabulan, penculikan, eksploitasi anak dan lain sebagainya yang belakangan ini marak terjadi di Negara tercinta ini.
Namun demikian, alangkah lebih bijaksana apabila Pak Menteri terlebih dahulu melakukan penkajian dan penelitian secara komprehensif terlebih dahulu sebelum menyebarluaskan kebijakan full day school ini, yang menurut klaim Pak Menteri sendiri senyawa dengan Nawacita Presiden Jokowi. Sehingga apabila kemudian hari terjadi fenomena yang menjurus ke arah polemik di masyarakat, Pak Menteri bisa dengan sigap memberi solusi yang menetralkan pikiran orangtua siswa, untuk melanjutkan tugas utamanya sebagai “pencari dana” untuk membiayai biaya pendidikan anak-anak mereka yang mahal